Maya Watono ukir sejarah baru bagi industri periklanan tanah air. CEO perusahaan periklanan Dwi Sapta tersebut, mulai Januari 2019 resmi dipercaya menjadi Country CEO Dentsu Aegis Network (DAN) Indonesia.
Terpilihnya Maya Watono sebagai Country CEO Dentsu Aegis Network (DAN) Indonesia merupakan suatu catatan penting bagi industri periklanan nasional, mengingat Maya berhasil torehkan prestasi tersebut di usia yang baru menginjak 36 tahun. Terlebih, Maya Watono menjadi wanita pertama dan termuda yang berhasil menempati posisi puncak kepemimpinan di DAN Indonesia.
Saat ini DAN Indonesia memiliki hampir 1.000 orang karyawan. Sementara, Dentsu Aegis Network berkantor pusat di London dan kantor holding Dentsu Inc di Tokyo, beroperasi di 145 negara di seluruh dunia dengan sekitar 300 perusahaan di bawahnya.
Maya mengatakan, jabatan baru yang diembannya tersebut membuatnya termotivasi dan siap memberikan yang maksimal. Menurutnya, jabatan ini bukan hanya bicara soal produk, melainkan service, idea, dan expertise.
“Bertanggung jawab terhadap 1.000 orang karyawan DAN Indonesia, ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi seorang pemimpin bila skala yang dipimpin cukup besar. Yang kami jual bukan berupa produk, melainkan service, idea, dan expertise. Semuanya adalah keahlian yang kami tawarkan, bukanlah berupa barang jadi. Maka dari itu, “People are our Assets”. Sangatlah penting bagaimana kita me-manage talent yang ada,” ujar Maya.
Sementara itu, Dentsu Aegis Network (DAN) Indonesia tersebar dalam 15 unit brand, yang terdiri dari Brand Agencies (DwiSapta, Dentsu Indonesia, Dentsu One, Dentsu MainAd), Media agencies (DSP MEDIA, Dentsu X, Carat, Vizeum, Posterscope), Digital Agencies (Dentsu X Digital, Isobar, ipVK, iNexus), Brand Activation Agencies (Bee Activator), & Content Agency (Dentsu X Sport & Entertainment).
Terkait trend advertising 2019, Maya mengungkapkan, saat ini kondisi pasar sedang melambat. Apalagi jika berbicara mengenai disrupsi, terutama dari sisi digital, sangat penting bagi kita untuk bisa menyikapi tantangan yang sedang terjadi saat ini. Karena disrupsi adalah global trend, yang lalu menjadi ASEAN trend, dan sekarang menjadi Indonesian trend. Jadi tidak bisa dipungkiri dengan adanya fenomena ini, business model pun sudah berubah, yang tadinya konvensional, sekarang semuanya sudah mengarah ke digital.
“Apalagi tahun 2019 adalah tahun politik. Situasi politik selama periode kampanye, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden menjadi pertimbangan untuk para pemasang iklan untuk tetap beriklan atau cenderung wait and see. Kondisi akhir tahun 2018 bisa menjadi gambaran. Ketika situasi ekonomi kurang baik bagi industri, yg ditandai meroketnya nilai dollar Amerika belanja iklan terkena dampaknya. Belanja iklan 2018, menurut Nielsen sampai dengan Oktober 2018, hanya bertumbuh 4%,” pungkasnya.