Tak pernah terbersit dalam pikiran Erick Pangestu ketika remaja bila suatu hari ia menjadi penerus bisnis keluarga. Tahun 2005 sang papa sakit parah dan mau tidak mau sebagai anak lelaki satu-satunya dari empat bersaudara ia didapuk menggantikan peran ayahnya memimpin PT Dextone Lemindo yang telah dibangun sejak 1986.
Erick mengingat kembali cerita orangtuanya ketika memulai usaha menggunakan garasi mobil sebagai tempat produksi. Menggunakan wadah ember dan gayung sang ayah mulai memproduksi lem. Tujuannya adalah agar bisa menjual lem dengan harga yang lebih murah karena dibuat sendiri. Memang bahan baku 80% masih dari luar negeri. Sang ibu, Yeni Liem yang memasarkan dari toko ke toko. “Sekarang kami menjadi salah satu produsen lem yang paling lengkap variannya di Indonesia,” aku Erick yang telah mengantongi sertifikat ISO 9001:2015.
Di masa peralihan ini ia diuji kemampuannya untuk mempertahankan kinerja perusahaan yang saat itu tumbuh sekitar 20%. Tahun pertama dan kedua cukup berat bagi Erick memimpin perusahaan. Tapi perlahan di tengah persaingan yang ketat ia mampu menjaga pertumbuhan perusahaan di angka 20-25 % per tahun. Dalam hal ini kontribusi sang ibu, Yeni Liem (63) sangat membantu dirinya menjaga kestabilan pertumbuhan penjualan.
Erick menjelaskan, persaingan di industri lem di tanah air cukup ketat, dari pemain lokal dan asing sampai yang non brand made in China. Beberapa pemain lokal satu per satu tumbang karena tak kuat bersaing. “Tapi fokus menjaga kualitas dan melakukan brand awareness, membuat event, membuat iklan-iklan dan sebagainya. Kami berusaha menciptakan pasar dengan melakukan pull marketing strategy,” tegasnya
Ia menambahkan, di lini pemasaran dibantu PT Putra Mandiri Perkasa, perusahaan yang merupakan agen tunggal Lem Dextone.
Saat ini Dextone sangat kuat di segmen lem besi yang memberikan kontribusi penjualan hingga 80%. Dalam hal ini Erick melakukan treatment yang berbeda di masing-masing segmen. Kepada segmen pengguna lem besi, Dextone melakukan aktifitas pemasaran melalui kegiatan below the line seperti pameran bahan bangunan, pameran otomotif, hadir di Pekan Raya Jakarta, bergerak di media luar ruang seperti billboard, kegiatan sponsorship dan lain-lain.
Di segmen produk alat tulis kantor, selain bermain di area below the line dan above the line, Dextone juga menggunakan saluran komunikasi digital. Ia menyadari sektor ritel saat ini mengalami penurunan daya beli karena tak sedikit orang mulai ‘melek’ internet. “Makanya kami perlu tim yang khusus mengurusi penjualan online dan promosi lewat social media juga,” akunya yang 80% kegiatan pemasaran membidik segmen business to customer (B2C).
Dextone yang memakai model binaragawan Ade Ray ini juga melakukan kegiatan sponsorship dan corporate social responsibility (CSR) dengan hadir di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus dengan menyelenggarakan sejumlah aktifitas membangun branding yang kemudian di-share melalui sosial media.-Adv