JAKARTA, INFOBRAND.ID - Lini bisnis asuransi kredit memiliki tingkat profitabilitas terendah jika dibandingkan dengan lini bisnis asuransi umum lainnya. Hal ini diungkap oleh IFG Progress dalam studi terbaru berjudul “Asuransi Umum Indonesia: Kondisi dan Tantangan” yang bertujuan untuk mengevaluasi lebih dalam kinerja sektor asuransi umum di Indonesia. Kesimpulan tersebut diperoleh IFG Progress setelah mengevaluasi data dari 30 perusahaan asuransi umum dengan total market share premi sekitar 87% dari total premi industri secara keseluruhan pada 2020.
“Selama lima tahun terakhir, rasio beban klaim (loss ratio) lini bisnis asuransi kredit relatif lebih tinggi dari rasio beban klaimkeseluruhan. Sejak 2018, rasio beban klaim asuransi kredit juga menunjukkan tren kenaikan. Padahal, lini kredit dan penjaminan menjadi kontributor premi (direct premium)asuransi umum terbesar ke-3 di Indonesia, setelah lini bisnis kendaraan bermotor dan properti, dengan share sebesar 16% pada tahun 2020. Oleh karena itu, tingginya rasio beban klaim yang terus naik ini perlu untuk diperhatikan,” ujar Head of IFG Progress, Reza Siregar.
Menurutnya, regulator perlu melakukan pengawasan dan analisis lebih komprehensif terhadap kinerja asuransi umum khususnya di lini bisnis kredit, mengingat bisnis asuransi kredit ini tercatat sebagai kontributor premi tertinggi ke-3 terhadap total premi asuransi umum Indonesia. Saran ini lantaran kinerja yang buruk di lini kredit dapat memengaruhi performa industri asuransi umum secara keseluruhan.
Lebih lanjut, tingginya premi dari lini bisnis kredit mengindikasikan bahwa aktivitas di sektor perbankan Indonesia memiliki keterkaitan dengan sektor asuransi melalui eksposur kredit perbankan yang cukup besar. Pinjaman perbankan untuk keperluan pembelian properti dan kendaraan bermotor memerlukan asuransi sebagai salah satu jaminan.
“Di sinilah sektor asuransi berperan dalam mengelola dan memitigasi risiko yang ditimbulkan dari kemungkinan adanya natural hazards dari aktivitas debitur perbankan yang menyebabkan terjadinya gagal bayar. Kami juga melihat bahwa hubungan erat antara sektor asuransi umum dan perbankan juga direfleksikan oleh aset investasi sektor asuransi umum, di mana rata-rata sekitar 36% aset pada tahun 2017-2019 ditempatkan dalam bentuk deposito perbankan,” terang Reza.
Selain itu, laporan studi ini juga menunjukkan bahwa kinerja industri asuransi umum di Indonesia masih sangat bergantung pada kondisi makro ekonomi. Merujuk data CEIC, pertumbuhan premi asuransi umum di Indonesia cenderung bergerak searah dengan pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan premi tercatat lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan PDB, namun jarak antara pertumbuhan premi dan pertumbuhan PDB terpantau semakin lama semakin menyempit.
IFG Progress membandingkan kondisi tahun 2005 di mana tingkat pertumbuhan premi tercatat double digit hingga 5 kali lipat dari pertumbuhan PDB. Akan tetapi, pada tahun 2020, ketika perekonomian dilanda krisis pandemi COVID-19, tingkat pertumbuhan premi tercatat single digit menjadi hanya 2 kali lipat dari pertumbuhan PDB. “Oleh karena itu, kestabilan perekonomian sangat dibutuhkan guna memitigasi risiko sistemik yang mungkin dihasilkan dari kinerja sektor asuransi umum,” pungkas Reza.