Tantangan Ekonomi Global di 2025: Peluang dan Risiko bagi Indonesia
Posted by: Alvin Pratama | 12-02-2025 15:02 WIB | 1115 views

INFOBRAND.ID-Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2024 menjadi pusat perhatian dunia. Kejutan demi kejutan terus bermunculan, termasuk insiden penembakan terhadap Donald Trump saat berkampanye dan keputusan Joe Biden untuk mundur dari pencalonan. Biden secara resmi mendukung Kamala Harris sebagai kandidat dari Partai Demokrat. Namun, ketidakpastian politik ini menimbulkan spekulasi di kalangan pelaku pasar dan memberikan dampak signifikan pada ekonomi global.
Menurut Bima Yudistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), dinamika ini menciptakan sentimen beragam di pasar. "Setelah insiden penembakan, dolar indeks sempat turun tipis dari 105 menjadi 104. Namun, bagi mata uang seperti rupiah, sentimennya berbeda, dolar justru menguat hingga 16.200," ujarnya. Hal ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap stabilitas politik AS, yang merupakan perekonomian terbesar di dunia.
Bima menambahkan bahwa kepemimpinan Donald Trump sebelumnya ditandai dengan kebijakan proteksionisme seperti perang dagang dengan China. "Perang dagang ini mengganggu rantai pasok global, termasuk ekspor Indonesia yang banyak bergantung pada mitra seperti China," jelasnya. Namun, ada peluang dari relokasi industri akibat ketegangan tersebut, meskipun Indonesia belum mampu memanfaatkannya secara maksimal.
Transisi energi menjadi salah satu topik utama yang dikaitkan dengan Pilpres AS. Kamala Harris, jika terpilih, kemungkinan besar akan melanjutkan kebijakan pro-lingkungan seperti Just Energy Transition Partnership (JETP). Program ini mencakup komitmen sebesar $20 miliar untuk mendukung transisi energi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, Bima mengingatkan bahwa kebijakan ini membutuhkan komitmen besar dari negara maju yang hingga kini masih setengah hati.
"Kita butuh sekitar Rp3.000 triliun untuk transisi energi, angka yang sangat besar jika tidak ada dukungan penuh dari negara-negara maju," katanya.
Sebaliknya, di bawah Donald Trump, kebijakan yang pro-fosil kemungkinan akan kembali mendominasi. "Trump dikenal skeptis terhadap perubahan iklim dan cenderung mengabaikan isu lingkungan. Ini bisa menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang tengah berupaya menjadi produsen nikel terbesar untuk kendaraan listrik," tambah Bima.
Presiden terpilih Prabowo Subianto juga dihadapkan pada tantangan ekonomi global yang kompleks. "Mitra utama Indonesia 10 tahun ke depan justru China, bukan AS," ujar Bima.
Namun, Prabowo dinilai memiliki kapasitas internasional yang kuat untuk menjalin kerja sama strategis. "Prabowo sudah menunjukkan komitmennya dalam forum global seperti Qatar Economic Forum. Ini menunjukkan kesiapan Indonesia untuk membuka kerja sama internasional tanpa menjadi terlalu proteksionis," katanya.
Meski demikian, kebijakan domestik harus diprioritaskan. "Proyek warisan Jokowi membutuhkan dana besar. Pemerintah harus berhati-hati dalam alokasi fiskal agar tetap berkesinambungan," tegasnya.
Pilpres AS 2024 akan menjadi penentu arah kebijakan global, termasuk dampaknya pada Indonesia. "Jika Kamala Harris terpilih, standarisasi lingkungan dan hak asasi manusia akan menjadi tantangan, namun bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas ekspor Indonesia. Di sisi lain, jika Donald Trump kembali, ada peluang dari relokasi industri tetapi risiko dari proteksionisme tetap tinggi," ujar Bima.
Dalam kondisi ini, Indonesia harus terus memperkuat daya saing, mendorong hilirisasi, dan menjaga stabilitas kebijakan untuk menarik investasi global. Keputusan politik di AS, terutama di November mendatang, akan menjadi momen penting yang turut memengaruhi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Baca berita lainnya di Google News