APAAACI Congress 2025 Resmi Digelar di Jakarta

INFOBRAND.ID– Asosiasi Alergi, Asma, dan Imunologi Klinis Asia Pasifik (APAAACI) bekerja sama dengan Perhimpunan Alergi dan Imunologi Indonesia (ISAI) resmi menyelenggarakan APAAACI Congress 2025 pada 9–12 Oktober 2025 di Fairmont, Jakarta.
Mengusung tema “Kesatuan dalam Keberagaman: Memajukan Sains dan Inovasi dalam Alergi, Asma, dan Imunologi – Dari Genetika hingga Terapi Berbasis Sel,” kongres bergengsi ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting, di antaranya Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno, Deputi Bidang Pariwisata RI Vinsensius Jemadu, Prof. Ruby Pawankar selaku Executive Director and Past President APAAACI, Prof. Amir HA Latif selaku Ketua Kongres, serta Prof. Iris Rengganis dan jajaran pejabat serta pakar dari dalam dan luar negeri.
Pemerintah Dorong Inovasi Medis dan Akses Kesehatan yang Merata
Dalam sambutannya, Menko PMK Pratikno menegaskan pentingnya inovasi medis, pemerataan akses, serta kolaborasi global dalam menghadapi tantangan kesehatan respirasi dan imunologi.
“Inovasi tanpa akses adalah janji yang tak terpenuhi. Kita harus membangun sistem kesehatan yang maju sekaligus adil,” tegas Pratikno.
Ia menambahkan, tantangan kesehatan global seperti perubahan iklim dan polusi udara menuntut kolaborasi lintas negara—mulai dari berbagi data, penelitian bersama, hingga harmonisasi regulasi untuk mewujudkan aksi kolektif yang nyata.
“Tidak ada satu negara pun yang mampu menyelesaikan masalah ini sendiri. Skala tantangannya menuntut kolaborasi global,” ujarnya.
Direktur Eksekutif dan Mantan Presiden APAAACI, Prof. Ruby Pawankar, menyoroti dampak serius perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat.
Menurutnya, penyakit alergi yang mencakup anafilaksis, alergi makanan, asma, rinitis, konjungtivitis, urtikaria, eksim, hingga alergi terhadap obat dan serangga kini menjadi perhatian utama di seluruh dunia.
“Perubahan iklim adalah krisis kesehatan global. Dampaknya tidak hanya pada paru-paru, tetapi juga pada sistem kekebalan tubuh, menyebabkan peningkatan kasus alergi dan asma di semua kelompok usia,” ungkap Prof. Ruby.
Data menunjukkan, 300 juta orang di dunia menderita asma, 200–250 juta mengalami alergi makanan, dan 400 juta hidup dengan rinitis. WHO mencatat bahwa asma menyebabkan sekitar 250.000 kematian setiap tahun, dengan angka prevalensi penyakit alergi yang terus meningkat.
Kawasan Asia Pasifik, yang menampung dua pertiga populasi dunia, menanggung beban besar dari penyakit-penyakit ini. Di Indonesia sendiri, prevalensi asma dan alergi makanan parah meningkat signifikan, diperparah oleh faktor lingkungan seperti polusi dan kabut asap lintas batas.
Menanggapi kondisi tersebut, kongres menyerukan berbagai langkah nyata yang perlu segera diambil untuk menekan dampak perubahan iklim dan meningkatnya penyakit alergi, antara lain:
Aksi segera di seluruh sektor ekonomi dan sosial untuk menanggulangi perubahan iklim.
Kebijakan pemerintah yang berfokus pada pengurangan bahan bakar fosil, pemulihan keanekaragaman hayati, dan penekanan polusi udara.
Peningkatan efisiensi energi pada kendaraan dan bangunan serta pengurangan paparan bahan beracun.
Edukasi publik mengenai pola hidup dan pola makan sehat sebagai upaya pencegahan penyakit alergi.
Pendekatan multidisiplin One Health, yang menekankan keterkaitan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Pembentukan konsorsium global untuk memperkuat mitigasi iklim berbasis pendekatan One Health.
Prof. Ruby menambahkan, APAAACI secara aktif mengangkat isu perubahan iklim dalam konteks kesehatan, termasuk melalui penerbitan white paper tahun 2020 yang membahas perubahan iklim, polusi udara, dan keanekaragaman hayati, serta kerja sama dengan WHO dan UNEP.
Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), Prof. Dr. Dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI, menyampaikan kebanggaan atas kesempatan Indonesia menjadi tuan rumah.
“Kesempatan ini merupakan bentuk pengakuan terhadap peran aktif Indonesia dalam bidang kesehatan lingkungan. Melalui forum ini, kami memperkuat kolaborasi antarnegara untuk riset, edukasi, dan kebijakan yang berpihak pada kesehatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” ujar Prof. Iris.