Dari Desa ke Pasar Dunia: Jejak Sukses Pemberdayaan Petani Ubi melalui Program Desa Sejahtera Astra
Di Desa Benteng, Ciampea, sebutir ubi menjadi awal kisah perubahan. Yusep dan para petani yang dulu nyaris menyerah pada nasib kini tersenyum menatap hasil panen yang menembus pasar Malaysia dan Singapura. Bersama Program Desa Sejahtera Astra dan IPB University, mereka belajar bukan hanya menanam, tapi membangun ekosistem bisnis yang menghidupkan desa. Inilah cerita tentang kerja keras, kolaborasi, dan bagaimana tanah sederhana bisa menumbuhkan martabat manusia.
Yusep, petani di Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor memeriksa tanaman ubi. (Foto: Agus Aryanto)
INFOBRAND.ID – Di hamparan lahan seluas satu hektare di Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, sekelompok petani tampak sibuk memeriksa barisan tanaman ubi yang di rawat dengan sepenuh hati. Di bawah terik matahari, tangan-tangan mereka menggali tanah merah yang gembur, mengeluarkan umbi-umbi besar berwarna ungu dan oranye.
Hasil panen kali ini terasa istimewa. Sebab, sebagian dari ubi yang mereka cabut dengan penuh harap itu akan dikirim jauh ke luar negeri — menuju Malaysia dan Singapura. Bagi Yusep, perwakilan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pesona Sinar Tani, pemandangan ini bukan sekadar panen, melainkan buah dari kerja keras dan perubahan nasib.
“Sebelumnya harga ubi cuma seribu rupiah per kilo, dikuasai tengkulak. Sekarang bisa sampai delapan ribu, dan hasil panen kami bisa tembus ekspor,” ujar Yusep (50) dengan nada bangga, saat ditemui wartawan infobrand.id akhir September 2025.
Dalam dua tahun terakhir, kelompoknya menjadi bagian dari ekosistem bisnis ubi yang dikembangkan Astra Internasional bersama IPB University melalui program Desa Sejahtera Astra (DSA). Kerja sama ini telah mengubah wajah pertanian di Ciampea — dari pertanian subsisten menjadi pertanian modern dengan rantai nilai yang terhubung hingga ke pasar global.
Program Desa Sejahtera Astra bukanlah sekadar kegiatan CSR biasa. Sejak diluncurkan, Astra memosisikan program ini sebagai model pemberdayaan ekonomi berbasis ekosistem. Tujuannya jelas, membangun kemandirian ekonomi desa melalui komoditas unggulan yang bernilai jual tinggi. Bersama Direktorat Pengembangan Masyarakat Agromaritim (DPMA) IPB, Astra mengembangkan rantai pasok ubi dari hulu hingga hilir — mulai dari bibit unggul, budidaya berstandar, pascapanen, hingga akses pasar ekspor
“Sinergi antara masyarakat, perguruan tinggi, pemerintah, dan dunia usaha menjadi kunci menghadirkan produk bernilai tambah dari desa,” ungkap Boy Kelana Soebroto, Chief of Corporate Affairs Astra, dalam keterangan media yang diterima wartawan. Menurutnya, kegiatan ekspor ubi ini menjadi bukti nyata komitmen Astra untuk sejahtera bersama bangsa, sekaligus memperkuat kontribusi terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia.
Dalam seremoni pelepasan ekspor perdana di Agribusiness and Technology Park (ATP) IPB University, hadir berbagai pemangku kepentingan: mulai dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, hingga Pemerintah Kabupaten Bogor. Momentum itu menandai langkah penting: desa-desa di lingkar kampus IPB kini bukan lagi sekadar penghasil ubi lokal, melainkan bagian dari rantai ekonomi global.
Gagasan pemberdayaan ini tidak muncul tiba-tiba. Sejak 2023, Direktorat Pengembangan Masyarakat Agromaritim (DPMA) IPB memetakan potensi desa-desa sekitar kampus melalui program Saba Desa dan Saba Kampus. Dari hasil pemetaan, ubi jalar muncul sebagai komoditas paling potensial — baik dari sisi lahan, produktivitas, maupun permintaan pasar
“Kami mengembangkan konsep One Village One Value Chain, yang menekankan keterhubungan dari petani hingga pasar,” jelas Handian Purwawangsa, Direktur DPMA IPB, melalui Dian Rahmah Fitri, Staff of Community Development PIC Ekosistem Bisnis Ubi, dalam wawancara jarak jauh.
Konsep ini terdiri dari tiga tahap; One Village One Product, menentukan komoditas unggulan sesuai potensi desa. One Village One Innovation, pendampingan teknologi dan manajemen. One Village One Export, mendorong produk desa menembus pasar global.
Dengan pendekatan ini, petani tidak lagi berdiri sendiri. Mereka menjadi bagian dari sistem yang saling terhubung — antara kampus sebagai sumber inovasi, industri sebagai offtaker, dan masyarakat sebagai pelaku utama.
Dampak Nyata di Desa
Bagi petani seperti Yusep dan rekan-rekannya, perubahan paling terasa bukan hanya pada angka pendapatan, tapi juga pada rasa percaya diri. Dahulu mereka hanya menjual hasil panen ke tengkulak dengan harga rendah dan tanpa kepastian. Kini, dengan sistem grading yang jelas — grade A untuk ekspor, grade B untuk pasar modern, dan grade C untuk olahan lokal — petani tahu ke mana hasil mereka akan pergi
Produktivitas pun meningkat. Dari satu hektare lahan, mereka mampu menghasilkan sekitar 15 ton ubi per musim tanam. Jenis ubi yang dibudidayakan beragam: ubi ungu Antin-1, ubi TW, ubi Murasaki, hingga ubi oren Golden Orange yang kini digemari pasar luar negeri. Hasil riset ATP menunjukkan varietas ini memiliki kualitas rasa dan warna yang stabil, dengan daya tahan tinggi untuk pengiriman jarak jauh.
Lebih dari itu, kerja sama dengan Astra dan IPB memberi dampak sosial yang signifikan. Program ini membuka 160 lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan petani hingga dua kali lipat. Para perempuan desa, melalui Kelompok Wanita Tani (KWT), ikut berperan dalam pengolahan hasil panen menjadi keripik, tepung mokaf, hingga roti ubi modern bernama Goguma Ppang. Produk-produk ini kini dipasarkan ke toko oleh-oleh dan e-commerce lokal, membuka jalan bagi local brand empowerment di sektor pangan.
Inovasi dan Pendampingan Teknis
Sebagai mitra akademik, IPB memainkan peran sentral dalam menjaga keberlanjutan program. Melalui DPMA, dosen dan mahasiswa agronomi rutin mendampingi petani, memberikan pelatihan budidaya berstandar dan solusi terhadap permasalahan di lapangan. Salah satu tantangan terbesar adalah serangan hama lanas, yang dapat menurunkan hasil panen secara drastis. Untuk itu, IPB memperkenalkan penggunaan ferolanas dan praktik kebersihan lahan pascapanen, serta mengedukasi petani tentang rotasi tanaman dan pemaparan sinar matahari agar lahan tetap sehat
DPMA juga menggandeng industri seperti PT Agrinesia untuk mengembangkan olahan ubi bernilai tambah tinggi: pasta, saus, sereal, dan roti ubi. Upaya ini menjadi bagian dari strategi diversifikasi produk agar tidak bergantung hanya pada ekspor bahan mentah. Dengan demikian, rantai ekonomi ubi di Bogor tidak berhenti di ladang, tetapi bergerak hingga ke industri pengolahan dan pasar konsumen.
Keberhasilan ekspor 10 ton ubi ke Malaysia dan Singapura pada Juli 2025 hanyalah awal. Hingga pertengahan tahun, total ekspor mencapai 65 ton, dengan rata-rata pengiriman 10–13 ton per bulan. Sebanyak 90% hasil panen petani kini terserap pasar, dan separuhnya masuk pasar ekspor
“Ekspor ini bukan sekadar angka, tapi simbol kemandirian desa. Petani kini bisa bersaing di pasar global,” ujar Handian. Menurutnya, pendekatan berbasis value chain menjadikan ekosistem ubi di Bogor contoh ideal dari community-based agribusiness yang berkelanjutan.
Astra sendiri melihat inisiatif ini sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Dengan lebih dari 1.500 Desa Sejahtera Astra dan Kampung Berseri Astra di seluruh Indonesia, model Bogor menjadi inspirasi untuk komoditas lain — dari kopi di Toraja hingga rumput laut di Sumba. Astra berperan tidak hanya sebagai pemberi modal, tetapi juga enabler yang menghubungkan desa dengan sumber daya ilmu pengetahuan dan pasar.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski sukses, jalan menuju pertanian berkelanjutan tidak selalu mulus. Petani masih menghadapi keterbatasan lahan dan ancaman alih fungsi tanah. “Banyak lahan pertanian pribadi yang berubah jadi perumahan. Kami khawatir nanti tidak ada lagi tempat untuk bertani,” keluh Nurhaman, salah satu anggota kelompok tani di Desa Benteng
DPMA IPB dan Astra menyadari hal ini. Karena itu, mereka tengah menyiapkan strategi regenerasi petani muda melalui pelatihan digital farming dan kemitraan pemuda desa. Dengan dukungan teknologi, petani diharapkan mampu memantau kesuburan tanah, mengatur pola tanam, dan memprediksi harga pasar secara real-time.
Selain itu, DPMA berencana memperluas program ke wilayah lain di Jawa Barat dan Sumatra, memperkuat riset pengendalian hama secara biologis, serta mengembangkan skema pembiayaan mikro berbasis koperasi. Kolaborasi lintas sektor akan menjadi fondasi utama agar ekosistem bisnis ubi tetap tumbuh meski menghadapi tantangan iklim dan pasar global.
Desa yang Makin Sejahtera
Kini, aroma ubi panggang dari rumah-rumah di Desa Benteng bukan hanya tanda musim panen tiba. Ia menjadi simbol kebangkitan desa — bahwa dengan sinergi yang tepat antara masyarakat, kampus, pemerintah, dan dunia usaha, kemandirian ekonomi bukan lagi impian. Melalui Desa Sejahtera Astra, petani Bogor telah membuktikan bahwa hasil bumi lokal pun mampu melanglang ke pasar dunia.
Bagi Yusep dan teman-temannya, keberhasilan ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menuju kemandirian. “Kami tidak lagi takut harga anjlok atau panen tidak laku. Sekarang kami punya pasar, punya pendamping, dan punya harapan,” ujarnya sambil menatap ladang yang hijau oleh daun-daun ubi.
Dan di situlah, di antara barisan tanaman yang sederhana itu, tersimpan makna sejati dari program Desa Sejahtera Astra: mewujudkan desa yang tak hanya subur tanahnya, tapi juga sejahtera manusianya.(***)


