INFOBRAND.ID- Berjualan melalui platform media sosial atau yang lebih dikenal dengan Social Commerce tengah marak di Tanah Air. Hal itu ditandai dengan makin banyaknya seller bahkan brand lokal berjualan langsung melalui platform Instagram, Facebook, TikTok, hingga WhatsApp.
Salah satu platform media sosial yang populer dan tengah digandrungi adalah TikTok Shop. Online Survey yang dilakukan Telkomsel mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memilih berbelanja di TikTok Shop karena harganya dinilai relatif murah. Alasan lainnya, karena ada promo dan voucher menarik, hingga fiturnya yang mudah digunakan untuk berbelanja.
Tak heran, jika sejumlah brand dan para seller mengaku terdongkrak penjualannya dengan memanfaatkan TikTok Shop. Hasilnya, memasuki tahun ketiganya beroperasi di Indonesia, TikTok Shop mencatat rekor penjualan luar biasa melalui fitur live shopping, yakni tembus Rp 107 miliar pada Agustus 2023. Catatan penjualan itu dicetak hanya dengan tiga kreator affiliate.
Fenomena itu turut disikapi oleh pemerintah. Belum lama ini, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki turut menyoroti social commerce. Teten menganggap bahwa social commerce berbasis platform telah memonopoli dan mematikan UMKM lokal. Terlebih lagi tidak ada batasan cross boarder e-commerce di Indonesia, yang membuat pelaku bisnis kita makin merana. Bahkan, fenomena itu turut menyebabkan sepinya penjualan di toko-toko konvensional seperti di Tanah Abang.
Sementara itu, pada saat Bincang E-Commerce bersama Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) di Jakarta, hari ini (8/9), Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Usman Kansong mengungkapkan bahwa pemerintah terus mendorong pengembangan ekonomi digital guna meningkatkan produktivitas pelaku usaha, khususnya UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) serta masyarakat.
“Perkembangan teknologi yang kian dinamis membawa masyarakat pada fenomena ekonomi digital baru, yaitu social commerce, di mana media sosial juga dimanfaatkan sebagai sarana transaksi jual beli. Praktik social commerce saat ini terbagi menjadi dua, yaitu yang difasilitasi platform dan yang dilakukan secara pribadi atau langsung antara sesama pengguna media sosial,” ucapnya.
Saat ini, lanjut Usman, Kemkominfo memprioritaskan pengawasan social commerce yang berbasis platform. “Diperlukan komitmen kuat dalam meningkatkan literasi digital di Indonesia untuk mengantar masyarakat menuju Digital Society melalui percepatan pembangunan ekosistem infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), serta transformasi digital bagi pelaku UMKM,” ia menekankan.
Terkait TikTok Shop, Usman menegaskan, langkah-langkah yang dilakukan oleh kemkominfo adalah mengurus platform dan kontennya. Kalau ada praktik dagang dari suatu platform yang melanggar, maka Kemkominfo menunggu langkah dari lembaga yang mengatur. Dan jika memang pada akhirnya TikTok Shop dan TikTok suatu saat akan dipisahkan, maka akan ada langkah panjang selanjutnya yang harus dipersiapkan. Sebab, TikTok Shop akan menjadi entitas sendiri dan harus mengurus badan hukum. Tak bisa lagi tergabung dalam aplikasi TikTok.
Sementara itu, dari sisi pelaku industri e-commerce, Ketua Umum idEA Bima Laga, memastikan bahwa para pelaku industri e-commerce memiliki kepedulian pada pengembangan ekonomi lokal dengan mendorong penjualan produk buatan Indonesia, terutama dari pengusaha UMKM. “IdEA hadir menjadi mitra pemerintah, salah satunya dalam mendukung UMKM melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia,” ucapnya.
Bima melanjutkan, dalam Gernas (Gerakan Nasional) BBI (Bangga Buatan Indonesia), pelaku industri e-commerce tidak semata mendorong pelaku usaha untuk onboarding atau membuka toko daring, tapi juga melakukan pelatihan dan pendampingan.
Selain itu, lanjut Bima, roda bisnis e-commerce melibatkan banyak sektor bisnis lain yang menjadi penggerak perekonomian digital indonesia, seperti sektor logistik, payment gateway, perbankan, fintech, dan lain-lain. Namun, bukan berarti roda bisnis e-commerce menghilangkan aturan ekspor impor. Peredaran produk impor pada industri e-commerce dibatasi aturan cross border.
Wakil Ketua idEA Budi Primawan menambahkan bisnis cross border secara resmi dikelola oleh platform. Semua itu mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah, baik dari segi pajak, juga lainnya.
“Persentase jumlah transaksi dari sektor cross border tidak terlalu tinggi, di mana pelaku bisnis cross border masih mengutamakan upaya mendorong transaksi dari produk lokal. Dengan demikian, para pelaku usaha lokal yang belum onboarding, bisa mulai mencoba untuk merambah ke pasar daring. Dan, berjualan di Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) (online) lebih efisien secara biaya, waktu kelola lebih fleksibel, dan jangkauan pasar luas,” pungkasnya.